INSTRUMEN PENINGKATAN TAX RATIO 2025

BADAN PENERIMAAN NEGARA, INSTRUMEN PENINGKATAN TAX RATIO 2025

“Ini juga sudah lazim diterapkan di negara-negara lain. Sebab, bicara penerimaan negara tentu bukan hanya dari sumber pajak saja. Ada bea cukai dan penerimaan bukan pajak”

 

Indonesiaconsult.com, (30/07/2024),  Menjelang pelantikan Prabowo-Gibran sebagai presiden dan wakil presiden Indonesia periode 2024-2029 akan ada beberapa reformasi kebijakan. Jika kita menilik kebelakang pada saat debat capres dan cawapres salah satu program kerja yang difokuskan oleh pasangan tersebut untuk menaikkan penerimaan negara dengan meningkatkan Tax Ratio. Dalam dokumen Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal (KEM-PPKF) 2025 yang disusun Kementerian Keuangan serta sudah dikonsultasikan dengan tim Prabowo, target rasio perpajakan (tax ratio) pada tahun pertama pemerintahan Prabowo-Gibran Rakabuming Raka ditetapkan 10,09-10,29 persen dari produk domestik bruto (PDB).

Rasio pajak di Indonesia relatif rendah jika dibandingkan dengan negara-negara lain. Misalnya, dalam beberapa tahun terakhir, rasio pajak terhadap PDB berada pada angka 10-12%. Angka ini tergolong rendah dibandingkan dengan rata-rata negara lain, khususnya di Asia Tenggara dan konteks global. Beberapa faktor yang berkontribusi pada rasio pajak yang relatif rendah ini antara lain:
1. Kepatuhan dan Administrasi Pajak: Tantangan dalam pengumpulan dan penegakan pajak dapat memengaruhi pendapatan. Meningkatkan kepatuhan pajak dan administrasi merupakan fokus berkelanjutan bagi pemerintah Indonesia.
2. Struktur Ekonomi: Sebagian besar perekonomian Indonesia bersifat informal, yang dapat membatasi pendapatan pajak.
3. Kebijakan dan Reformasi: Indonesia sedang melakukan berbagai reformasi pajak untuk meningkatkan rasio pajak, seperti menyederhanakan sistem pajak dan memperluas basis pajak.

Presiden terpilih Prabowo Subianto dan Wakil Presiden terpilih Gibran Rakabuming Raka optimis untuk membentuk Badan Penerimaan Negara (BPN) yang digadang-gadang sebagai solusi untuk meningkatkan Tax Ratio di Indonesia. Badan itu akan memisahkan Direktorat Jenderal Pajak maupun Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dari Kementerian Keuangan.

Dilansir pada laman Kontan.co.id, Direktur Eksekutif Indonesia Economic Fiscal (IEF) Research Institute Ariawan Rahmat berpendapat bahwa pemisahan badan khusus yang menangani penerimaan negara dari Kementerian Keuangan (Kemenkeu) harus benar-benar dilakukan dan tidak hanya sekedar wacana. Alasannya tentu tidak semata-mata soal untuk memenuhi target penerimaan pajak, tax ratio atau lainnya, tetapi memang reformasi birokrasi secara menyeluruh.

“Ini juga sudah lazim diterapkan di negara-negara lain. Sebab, bicara penerimaan negara tentu bukan hanya dari sumber pajak saja. Ada bea cukai dan penerimaan bukan pajak,” kata Ariawan.
Menanggapi hal ini juga, Mantan Menteri Era Keuangan Indonesia era 2014-2016, Bambang Brodjonegoro turut berkomentar bahwa BPN nantinya harus fokus pada tax collection atau pungutan pajak. Institusi tersebut wajib memiliki target untuk menaikkan tax ratio.Di sisi lain, tax policy tetap di bawah Kementerian Keuangan (Kemenkeu), dan Menteri Keuangan itu sendiri menjadi dewan pengarah atau pengawas BPN.

Dalam dokumen Rancangan Awal Rencana Kerja Pemerintah (RKP) Tahun 2025, pemerintah menganggap, pembenahan kelembagaan perpajakan melalui pembentukan Badan Otorita Penerimaan Negara untuk meningkatkan tax ratio dapat juga menyediakan ruang belanja yang memadai dalam APBN untuk pelaksanaan pembangunan dalam rangka mewujudkan Visi Indonesia Emas 2045.