Polemik Kenaikan PPN 12%: Kepentingan Negara vs Daya Beli Rakyat

Kenaikan PPN 12%

Indonesiaconsult.com (26/12/2024) – Pemerintah Indonesia telah menetapkan kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11% menjadi 12%, yang akan berlaku mulai 1 Januari 2025. Kebijakan ini merupakan bagian dari Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), yang sebelumnya menaikkan tarif PPN dari 10% ke 11% pada April 2022. Pemerintah beralasan bahwa langkah ini bertujuan untuk meningkatkan penerimaan negara. Ini guna mendukung pembangunan dan menjaga keseimbangan fiskal dalam menghadapi tantangan ekonomi global.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menjelaskan bahwa tarif PPN yang baru ini masih berada dalam kisaran yang wajar dibandingkan dengan negara-negara lain. “Dengan tarif 12%, Indonesia masih berada dalam kisaran yang wajar dibandingkan negara-negara lain,” ujar Sri Mulyani.

Kebijakan ini diharapkan dapat menambah pemasukan negara, terutama untuk sektor pembangunan infrastruktur dan program sosial. Pemerintah memproyeksikan penerimaan dari kenaikan tarif PPN ini dapat mencapai Rp75 triliun pada tahun 2025.

Namun, kebijakan ini juga menimbulkan kekhawatiran di kalangan banyak pihak, terutama dari kalangan ekonom. Nailul Huda, Ekonom dari Center of Economic and Law Studies (CELIOS), menyatakan bahwa kenaikan tarif PPN berpotensi memberikan beban tambahan bagi kelompok masyarakat miskin.

“Kelompok miskin bisa mengalami kenaikan pengeluaran hingga Rp101.880 per bulan, yang akan memperburuk kondisi mereka,” ujarnya. Hal ini tentu dapat memperburuk ketimpangan sosial yang sudah ada.

Baca Juga: Pemerintah Dinilai Memiliki Kuasa Untuk Membatalkan PPN 12%

Pakar Buka Suara Terkait Kenaikan PPN 12%

Arin Setiawan, Pakar Ekonomi dari Universitas Muhammadiyah Surabaya, juga mengingatkan bahwa kenaikan PPN ini akan langsung mempengaruhi harga barang dan jasa. “Kenaikan tarif PPN akan langsung memicu kenaikan harga barang dan jasa, yang pada akhirnya menurunkan daya beli masyarakat, terutama kelompok bawah,” tambahnya.
Inflasi yang meningkat akibat kebijakan ini dapat memperburuk daya beli masyarakat, terutama mereka yang berada di bawah garis kemiskinan. Meskipun demikian, pemerintah telah memastikan bahwa beberapa barang dan jasa strategis. Hal ini seperti kebutuhan pokok, pendidikan, dan kesehatan, akan tetap dikecualikan dari PPN. Atau diberikan fasilitas pembebasan PPN. Sri Mulyani menegaskan, “Bagi kelompok masyarakat yang tidak mampu akan dilindungi atau bahkan diberikan bantuan.”

Selain itu, Presiden Prabowo Subianto juga menyatakan bahwa penerapan kenaikan PPN akan dilakukan secara selektif, dengan fokus pada barang-barang mewah. “PPN adalah undang-undang, ya kita akan laksanakan, tapi selektif hanya untuk barang mewah,” jelasnya.

Kenaikan PPN yang direncanakan ini jelas menjadi langkah kontroversial. Di satu sisi, ini merupakan upaya pemerintah untuk meningkatkan pendapatan negara guna mendanai pembangunan. Namun, di sisi lain, kebijakan ini dapat menambah beban ekonomi bagi sebagian besar masyarakat, terutama yang berada di kalangan bawah. Oleh karena itu, pemerintah diharapkan dapat mengimplementasikan langkah-langkah mitigasi untuk mengurangi dampak negatif kebijakan ini terhadap daya beli masyarakat dan menjaga kestabilan perekonomian.

Sumber: Cnbcindonesia.com