Indonesiaconsult.com (22/10/2024), Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Indonesia yang awalnya sebesar 11% akan direncanakan naik menjadi 12% pada 2025 mendatang. Tentu saja kenaikan PPN ini bertujuan untuk meningkatkan pendapatan negara sebagaimana peran pentingnya sebagai sumber utama penerimaan negara.
Rencana kenaikan tersebut tercantum dalam Undang-Undangg No.7 tahun 2021 tentang Harmonisasi Perpajakan (UU HPP pasal 7 ayat 1). Namun hingga mendekati pergantian tahun, rencana kenaikan ini masih menuai banyak penolakan. Bahkan Wakil Ketua MPR meminta Presiden Prabowo untuk menunda kenaikan PPN 12% tersebut.
Berpotensi Menyulitkan Masyarakat
Iman Julianto, Ketua Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) Cabang Bekasi, mengomentari rencana kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) 12% tahun depan. Menurut Iman, kebijakan perpajakan apapun, termasuk kenaikan pajak pertambahan nilai, pasti akan berdampak pada perekonomian, terutama konsumsi rumah tangga.
Dijelaskannya, dampak kebijakan tersebut perlu dipertimbangkan dari berbagai aspek, termasuk subjek dan tujuan pajak yang bersangkutan. Ia mengatakan, partainya mendukung penuh langkah pemerintah jika memberikan dampak positif lebih lanjut. Namun saat ditanya dampak langsung kenaikan PPN ini terhadap konsumsi rumah tangga, Iman mengaku akan menambah beban perekonomian masyarakat. Beban yang dimaksud ini khususnya untuk rumah tangga sebagai konsumen akhir.
“Tentu dalam perkembangan saat ini, dengan penambahan PPN jadi 12%, ini akan menambah pengeluaran dari rumah tangga. Rumah tangga ini adalah end-user,” jelas Iman. Dikutip dari laman Pajak.com pada Selasa (22/10).
Iman menambahkan, langkah lain yang dilakukan pemerintah juga sangat diperlukan untuk menjaga keseimbangan. Hal tersebut dikarenakan kenaikan PPN ini dapat meningkatkan tekanan ekonomi terhadap anggaran rumah tangga.
Ia menekankan, kebijakan perpajakan seperti itu perlu diimbangi dengan kebijakan yang pro-masyarakat. Iman menyebutkan, misalnya perlunya penciptaan lapangan kerja serta stabilitas politik dan keamanan agar pelaku ekonomi dapat menjalankan usahanya dengan lancar.
Baca Juga: Tarif Pajak Minumun Global 15% Akan Diterapkan Pada 2025
Permintaan Tunda Kenaikan PPN 12% di Tahun 2025
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) mengamanatkan kenaikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) paling lambat 12% pada tahun 2025. Kendati demikian, Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Eddy Dwiyanto Soeparno mendesak Presiden Prabowo Subianto untuk menunda kenaikan PPN. Menurutnya, hal ini demi menjaga daya beli masyarakat dan mendorong pertumbuhan ekonomi nasional.
Dibandingkan kenaikan tarif PPN sebesar 12%, ia optimis penerimaan pajak bisa meningkat melalui program hilirisasi yang dilanjutkan pemerintahan Prabowo-Gibran. Pasalnya, hilirisasi dapat meningkatkan nilai tambah industri manufaktur dan meningkatkan kontribusi penerimaan pajak.
Mengutip data Kementerian Keuangan (Kemenkeu), penerimaan pajak dari sektor manufaktur sebesar Rp252,5 triliun per 31 Juli 2024. Jumlah tersebut menyumbang 25,3% dari total penerimaan pajak.
“Saya optimis dari segi pendapatan juga akan menguat, ini karena kita memiliki industri manufaktur yang bernilai tambah tinggi,” sebut Eddy.
Pada kesempatan lain, Drajad Wibowo, anggota Dewan Pakar Tim Kampanye Nasional Prabowo-Gibran sekaligus ekonom senior, juga menentang kenaikan tarif PPN menjadi 12% pada tahun 2025. Bahkan, dia menganalisis, kenaikan pajak pertambahan nilai justru bisa menurunkan penerimaan pajak. Hal ini akan menurunkan daya beli masyarakat, khususnya kelas menengah atas.
Sumber: Pajak.com