Indonesiaconsult.com (03/09/2024). Menurut Kementerian Keuangan, penerimaan cukai hasil tembakau (CHT) pada tahun 2023 diperkirakan tetap sebesar Rp213,5 triliun. Angka ini berada pada kisaran 91,8% dari target tahun 2023. Risiko tidak tercapainya target CHT pada tahun 2024 kembali muncul.
Meski pemerintah menaikkan tarif CHT sebesar 10% pada tahun 2023 dan 2024, namun hingga Juli 2024, jumlah realisasi CHT baru mencapai Rp111,4 triliun. Ini terhitung sebesar 48% dari target sebesar Rp230,4 triliun.
Sebelumnya pemerintah telah menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 hingga Peraturan Pelaksana Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan. Berdasarkan Laporan Keuangan Anggaran Pendapatan Daerah (RAPBN) Provinsi tahun 2025, pemerintah menargetkan peningkatan penerimaan cukai sebesar 5,9% menjadi Rp244,2 triliun.
Peningkatan target ini dikhawatirkan akan diikuti dengan kenaikan Cukai Hasil Tembakau (CHT) pada tahun 2025. Ada kekhawatiran bahwa hal ini akan semakin menambah tantangan yang akan dihadapi oleh industri tembakau.
Baca Juga: Target Penerimaan Pajak 2025
KENAIKAN PENERIMAAN CUKAI, TANGGAPAN AHLI
Dilansir dari finance.detik.com, Banyak ahli menilai rencana kenaikan ini secara bertahap dan multiyears sesuai dokumen “Kerangka Ekonomi Makro dan Prinsip Kebijakan Fiskal 2025” (KEM-PPKF) merupakan langkah yang tepat. Kebijakan ini perlu diterapkan karena kenaikan pajak konsumsi yang berlebihan justru berdampak negatif terhadap pengendalian konsumsi dan realisasi perolehan pendapatan.
Achmad Nur Hidayat
Ahmad Nur Hidayat, ekonom veteran UPN dan pakar kebijakan publik dari Jakarta turut menyatakan pendapatnya. Ia mengatakan bahwa arah kebijakan cukai perlu menyeimbangkan tujuan membatasi konsumsi tembakau dan meningkatkan pendapatan pemerintah. Kebijakan ini juga harus memperhatikan keberlanjutan industri tembakau dan petani tembakau untuk meminimalkan dampak ekonomi.
Dalam hal ini, Achmad sepakat bahwa kebijakan CHT multiyears akan memberikan kepastian bagi industri dalam merencanakan produksi dan investasi jangka panjang. Arahan ini akan memungkinkan para pelaku ekonomi untuk menyesuaikan strategi bisnisnya secara lebih terukur dan stabil.
Ahmad menyoroti peningkatan dua digit CHT dalam beberapa tahun terakhir. Dari sisi pendapatan pemerintah, peningkatan CHT sebesar dua digit belum tentu berhasil meningkatkan pendapatan. Apalagi, kebijakan ini justru menambah rumit situasi IHT. Hal ini terlihat dari rendahnya daya beli konsumen dan rendahnya produktivitas industri.
Oleh karena itu, terdapat kebutuhan untuk menemukan keseimbangan yang tepat antara tujuan keuangan dan keberlanjutan industri. Salah satunya adalah dengan meningkatkan CHT secara moderat single digit. Ini bertujuan memberikan ruang bagi industri untuk beradaptasi, menjaga daya beli sehingga penurunan konsumsi ikut terarah dan tidak merugikan.
Anthony Budiawan
Anthony Budiawan, Direktur Eksekutif Kajian Politik dan Ekonomi (PEPS) mengatakan peningkatan CHT dengan dalih pembatasan konsumsi rokok tidak efektif. Menurutnya, beban cukai yang tinggi justru menambah beban konsumen. Hal ini dapat menyebabkan mereka memilih produk yang lebih murah atau beralih ke konsumsi tembakau ilegal.
Misalnya saja, CHT selalu meningkat sebesar 12% pada tahun 2022, 10% pada tahun 2023, dan 10% pada tahun 2024 selama tiga tahun terakhir. Pada periode tersebut, jumlah rokok ilegal meningkat dari 5,5% pada tahun 2022 menjadi 6,9% pada tahun 2023. “Peningkatan ini pada akhirnya akan memperumit situasi masyarakat local. Kita perlu mempertimbangkan ketergantungan pemerintah pada pajak cukai,” ujar Anthony.
Bagi Anthony, pajak tembakau sebaiknya tidak dinaikkan ketika pendapatan masyarakat masih belum stabil. Beliau menegaskan bahwa kenaikan pajak konsumsi yang berlebihan hanya akan menambah beban belanja fiskal. Ia turut menyatakan bahwa Kita perlu mengatasi urgensi mengapa kita perlu menaikkan pajak tembakau. Termasuk untuk alasan kesehatan masyarakat atau sekadar untuk menambah kas pemerintah.