Kendala Sistem “Core Tax” Masih Berlanjut, Ekonom Mengidentifikasi 4 Faktor Penyebab Utama

Kendala Sistem “Core Tax”

Indonesiaconsult.com (21/02/2025) – Kendala Sistem Core Tax yang diperkenalkan oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP) pada awal Januari masih terus berlanjut hingga saat ini. Meskipun diharapkan dapat meningkatkan efisiensi perpajakan melalui digitalisasi, implementasi sistem ini justru mendapat banyak kritik dan keluhan dari masyarakat. Proyek ini memerlukan biaya yang cukup besar, yaitu Rp1,3 triliun, namun hasilnya belum sesuai dengan harapan.

Permasalahan yang terjadi disebabkan oleh proses implementasi yang terlalu terburu-buru dan kurang dipersiapkan dengan matang. Hal ini menyebabkan banyaknya kesalahan dan kekurangan dalam sistem, sehingga menghambat proses perpajakan dan menyebabkan ketidaknyamanan bagi masyarakat. Pendapat ini disampaikan oleh Rijadh Djatu Winardi, seorang ekonom dari Universitas Gadjah Mada (UGM).

“Ada kesan bahwa proses pra-implementasi dilakukan dengan terburu-buru dan kurang matang. Mengingat waktu persiapannya yang sangat singkat antara pertengahan hingga akhir Desember lalu,” ujar Rijadh. Dikutip dari laman Pajak.com pada Jumat (21/02).

Menurut Rijadh, terdapat indikasi bahwa perencanaan dan pelaksanaan proyek Core Tax belum dilakukan secara maksimal. Selain itu, upaya mitigasi risiko juga belum dilakukan dengan optimal.

Proses pengembangan sistem, migrasi data, dan pengaturan beban kerja tidak berjalan sesuai rencana. Akibatnya, muncul berbagai masalah teknis seperti gangguan sistem, kesulitan dalam migrasi data, dan kurangnya pelatihan bagi pengguna akhir. Hal ini menyebabkan pengguna mengalami kesulitan dalam menggunakan sistem Core Tax.

Baca Juga: DPD Klaim Coretax Membuat Setoran Pajak Merosot, DJP Mengungkapkan Data Terkait!

Faktor Utama Kendala Sistem “Core Tax”

Menurut Rijadh, ada empat faktor utama yang menyebabkan kendala dalam implementasi core tax. Pertama, sistem belum siap menangani akses massal, sehingga menyebabkan bottleneck pada jaringan dan sistem. Kedua, masih terdapat bug pada beberapa fungsi penting sistem, seperti pelaporan pajak dan validasi data. Hal ini disebabkan oleh proses quality assurance dan user acceptance testing yang belum dilakukan secara menyeluruh.

Ketiga, kapasitas sistem dan arsitektur yang tidak efisien juga menjadi kendala utama. Sistem yang belum dirancang untuk skalabilitas tinggi membuatnya rentan mengalami gangguan ketika volume data meningkat drastis. Rijadh menekankan bahwa infrastruktur server core tax belum sepenuhnya dioptimalkan untuk menangani pemrosesan data dalam jumlah besar dan kompleksitas transaksi perpajakan yang tinggi.

Keempat, kelemahan dari penggunaan Commercial Off-The-Shelf (COTS) software. Core tax yang berbasis COTS masih bersifat generik dan belum sepenuhnya disesuaikan dengan kebutuhan perpajakan Indonesia yang memiliki karakteristik unik. Rijadh menyarankan agar dilakukan rollout program secara bertahap hingga siap digunakan.

Meskipun mengalami kendala, Rijadh menegaskan bahwa konsep core tax sangat baik dan strategis. Sistem ini dirancang untuk mendukung reformasi perpajakan dengan tujuan meningkatkan administrasi pajak melalui digitalisasi. Melalui core tax, pemerintah menargetkan penurunan tax gap, peningkatan tax ratio, serta perbaikan kualitas data perpajakan.

Rijadh juga menilai bahwa anggaran Rp1,3 triliun untuk proyek ini masih tergolong hemat dibandingkan dengan proyek serupa di negara lain. Namun, agar core tax dapat benar-benar bermanfaat, ia menekankan perlunya evaluasi menyeluruh, uji coba sistem yang lebih baik, serta pelatihan komprehensif bagi pengguna akhir.

“Perbaikan tata kelola implementasi, keterbukaan informasi, dan juga pengawasan dari berbagai pihak seperti DPR untuk memastikan berjalannya proyek ini sangat diperlukan,” tegas Rijadh.

Sumber: Pajak.com