Indonesiaconsult.com (19/12/2024) – Direktur Jenderal Pajak periode 2000-2006, Hadi Poernomo, buka suara atas kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Kenaikan tersebut berupa tarif PPN 12% yang dikatakan merupakan amanat undang-undang (UU). Sementara itu, Hadi mengatakan pemerintah juga berkewajiban mengubah peraturan pelaksanaan dalam kasus dugaan pelanggaran hukum. Hal ini bertujuan untuk memastikan transparansi melalui sistem manajemen pelaporan mandiri.
Sebab, Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) merupakan sarana bagi fiskus untuk menilai kebenaran, kelengkapan, dan kejelasan laporan wajib pajak. Hal tersenut terkait penghitungan dan/atau pembayaran pajak, barang kena pajak, dan/atau kedua-duanya. Ini karena merupakan sumber informasi utama untuk pengecekan jumlah yang tidak dikenakan pajak. Dengan diperkenalkannya sistem penilaian mandiri, penghasilan kena pajak, aset, dan kewajiban lainnya dinilai sesuai ketentuan undang-undang dan peraturan perpajakan.
Hadi menyoroti hal ini dalam seminar akademis mengenai kontroversi kenaikan tarif PPN 12%, ”Meet Old Tax law, Greet New PPN 12%”. Seminar ini diadakan oleh Universitas Pelita Harapan (UPH) di Kampus Semanggi pada tanggal 18 Desember. Acara ini juga menghadirkan Bapak Vaudy Starworld, Ketua Umum Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI), sebagai pembicara.
Baca Juga: Benarkah Tarif PPN 12% Hanya Diperuntukkan Bagi Barang Mewah dan Orang Kaya?
Penerapan Sistem Self-assessment Monitoring
Menurut Hadi, penerapan sistem self-assessment monitoring terus mengalami kendala. Hal ini telah terjadi sejak tahun 2008 yang berupa peraturan pelaksanaan yang belum sepenuhnya sesuai dengan undang-undang diatasnya.
“Ada peraturan pelaksanaan perundang-undangan pada tahun 2008 yang diduga bertentangan dengan undang-undang yang diatasnya, sehingga harus diluruskan agar sistem ini dapat diterapkan dengan maksimal,” ujar Hadi. Dikutip dari laman pajak.com pada Kamis (19/12).
“Kalau PPN naik jadi 12%, peraturan pelaksaan undang-undang itu itu juga harus dipatuhi selurus-lurusnya. Sehingga kita punya kemampuan menguji SPT tahunan seperti negara-negara maju. Patuhi Undang-Undang No. 9 Tahun 2017 dan Undang-Undang No. 28 tahun 2007 sebagai amandemen Undang-Undang penghambat bagi sistem pelaksanaan monitoring self-assessment perpajakan yang sudah kita susun sejak 2001. Saat itu, kami mengamandemenkan rahasia bank di Undang-Undang No. 10 Tahun 1998, ini untuk meniadakan rahasia bagi pegawai pajak,” lanjut Hadi.
Doktor Ilmu Hukum dari UPH ini menyebut sistem pengawasan pelaporan mandiri dengan istilah “CCTV Penerimaan Negara”. Hadi mengatakan CCTV Pendapatan Negara mengumpulkan data dari kementerian, lembaga, asosiasi, pemerintah daerah, dan pemangku kepentingan lainnya. Selain itu juga menyediakan data dalam berbagai format, dan menggunakan metode link and match dalam mengintegrasikannya ke dalam database dirancang dengan menerapkan konsep tersebut.
“Data tersebut akan digunakan untuk mencocokkan dan membandingkan informasi dengan data otoritas pajak, memastikan bahwa laporan pajak Wajib Pajak benar, lengkap, dan sesuai kenyataan,” sebut Hadi.
Sedangkan UU Nomor 28 Tahun 2007 saat ini baru dilaksanakan melalui Memorandum of Understanding (MoU). Hal ini terikat antara Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dengan pihak eksternal.
Rasio Pajak Naik 2% Dapat Turunkan Tarif PPN Jadi 8%
Hadi optimistis CCTV penerimaan negara berdasarkan undang-undang tersebut akan meningkatkan tarif pajak hingga 2% atau meningkatkan penerimaan negara hingga Rp500 triliun setiap tahunnya.Jika tarif pajak dinaikkan, tarif PPN bisa turun menjadi 8%.
Seperti diketahui, tarif pajak Indonesia pada tahun 2023 saat ini sekitar 10,31 persen terhadap produk domestik bruto (PDB). Di negara-negara maju, tarif pajak sudah melebihi 30 persen PDB.
“Maka dari itu, jika memang PPN harus naik jadi 12% berlandaskan UU, kami juga minta peraturan pelaksanaan dilaksanakan selurus-lurusnya berdasarkan UU. Melalui sistem monitoring self-assessment atau menciptakan trust antara Wajib Pajak dan pegawai pajak. Akhirnya, pajak dapat menyejahterakan masyarakat,” ujar Hadi.
Seminar akademik ini merupakan kesempatan untuk mempelajari proses implementasi kebijakan pemerintah yang berdampak pada masyarakat. Hal ini disampaikan pada kesempatan yang sama oleh Direktur Program Studi Doktor Hukum UPH, Henry Soelistiyo Budi.
Sumber: Pajak.com