Indonesiaconsult.com (20/12/2024) – Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI), merupakan organisasi yang memiliki jaringan konsultan pajak yang luas. Dengan itu, mereka menyambut baik penerapan kebijakan kenaikan tarif PPN menjadi 12% pada tahun 2025.
Peningkatan ini dinilai sebagai perubahan penting dan langkah penguatan sistem perpajakan Indonesia ke tingkat selanjutnya menuju kemandirian nasional melalui kebijakan perpajakan yang berkeadilan. Ketua IKPI Vaudy Starworld mengatakan kenaikan PPN merupakan bagian dari upaya pemerintah dalam meningkatkan pendapatan negara. Hal ini juga sangat penting dalam mendukung pembangunan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat.
Vaudy juga menekankan pentingnya transparansi dalam mengelola perubahan ini dan komunikasi yang baik antara pemerintah dan pelaku ekonomi. Ia percaya bahwa peningkatan sosialisasi akan sangat membantu masyarakat lokal dan dunia bisnis dalam mempersiapkan diri menghadapi perubahan tarif PPN.
“Kami akan terus mendukung implementasi kebijakan ini dengan memberikan edukasi dan bimbingan kepada Wajib Pajak. Ini agar mereka dapat menyesuaikan diri dengan perubahan yang ada,” sebut Vaudy. Dikutip dari laman pajak.com pada Jumat (20/12).
Ia juga menegaskan, kenaikan tarif PPN diharapkan dapat membawa perbaikan pada sistem perpajakan Indonesia dan menciptakan lingkungan usaha yang lebih adil. Selain itu diharapkan pula dapat memberikan peluang untuk memajukan sistem pelayanan publik melalui penerimaan negara yang lebih optimal.
Vaudy meyakinkan bahwa IKPI tetap berkomitmen untuk bekerja sama dengan pemerintah dalam proses transisi ini. IKPI juga akan terus berperan aktif dalam memastikan kelancaran implementasi kebijakan perpajakan sesuai dengan prinsip keadilan dan transparansi.
Baca Juga: Hadi Poernomo: Ada Peraturan Pelaksanaan UU yang Wajib Diluruskan Terkait Tarif PPN 12%
Kenaikan Tarif PPN Dapat Tingkatkan Stabilitas Fiskal
Ketua Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI), Vaudy Starworld meyakini pemberlakuan PPN 12% mulai 1 Januari 2025 akan meningkatkan stabilitas fiskal dan meningkatkan pemerataan perekonomian. Pasalnya, optimalisasi penerimaan PPN mengarah pada optimalisasi penerimaan negara. Ini ia ungkapkan pada seminar akademik kontroversi kenaikan PPN 12% bertajuk ”Meet Old Tax law, Greet New PPN 12%” yang diselenggarakan oleh UPH (18/12). Ia juga mengingatkan, kenaikan tarif PPN dari 11% menjadi 12% sejalan dengan kewajiban Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).
Namun, tren penerimaan PPN serta Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) dan GDP rumah tangga masih perlu dioptimalkan. Pada 2020 lalu, realisasi PPN serta PPnBM menurun akibat Covid-19 menjadi sebesar Rp450 triliun dengan rumah tangga pada level 5,06%. Dibandingkan tahun 2019 yang mencatatkan realisasi PPN dan PPnBM sebesar Rp532 triliun dengan GDP rumah tangga 5,93%.
Vaudy menilai kontribusi PPN dan PPnBM masih bisa dioptimalkan. Hal tersebut dinilai meski pada 2023 terjadi kenaikan sebesar Rp764 triliun dengan GDP rumah tangga pada tingkat 6,39%.
“Penyebab rendahnya persentase PPN ke GDP rumah tangga ini karena kegiatan ekonomi yang belum terjaring sistem pengenaan yang ada atau underground economy. Belum lagi adanya kebijakan pemerintah yang berupaya memberikan fasilitas PPN, baik berupa pembebasan maupun penurunan tarif. Ditambah lagi, kapasitas sistem dan keterbatasan DJP dalam menguji kepatuhan Wajib Pajak,” jelas Vaudy.
Oleh karena itu, ia berharap kenaikan tarif PPN menjadi 12% akan meningkatkan stabilitas fiskal dan meningkatkan penerimaan Anggaran Pendapatan dan Peruntukan Negara (APBN). Selain itu, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) akan memperkenalkan Sistem Administrasi Perpajakan Inti (SIAP) atau Inti Pajak mulai 1 Januari 2025. Ini bertujuan untuk menyederhanakan administrasi perpajakan dan meningkatkan kepatuhan.
Ia juga menegaskan komitmen IKPI dalam membantu pemerintah meningkatkan kepatuhan perpajakan. Ini juga termasuk mengedukasi wajib pajak mengenai target penerapan tarif PPN 12%.
Sumber: Pajak.com