Pemerintah Dinilai Memiliki Kuasa Untuk Membatalkan PPN 12%

PPN 12%

Indonesiaconsult.com (24/12/2024) – Kebijakan kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari saat ini 11% menjadi 12% mulai 1 Januari 2025 sepenuhnya ada di tangan pemerintah. Hal ini diungkapkan oleh Direktur Hukum Center of Economic and Law Studies (Celios), Mhd Zakiul Fikri.

Ia mengatakan, Pemerintah hanya bisa mencabut opsi kenaikan PPN dengan mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang atau Perppu. Sebab, Opsi lain untuk mencabut ketentuan Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) saat ini sudah tertutup.

“Penerbitan Perppu menjadi solusi cepat mengatasi permasalahan hukum dan ekonomi, terutama saat DPR sedang reses. Tindakan ini juga menunjukkan komitmen pemerintah untuk melindungi kepentingan rakyat sesuai amanat UUD 1945 dan prinsip negara kesejahteraan.” Hal tersebut disampaikan oleh Fikri melalui keterangan tertulisdan dikutip dari laman cnbcindonesia.com pada Selasa (24/12).

Baca Juga: IKPI Hargai Keputusan Kenaikan Tarif PPN Menjadi 12%

Studi Kasus PPN 12%

Dari sisi ekonomi, Celios sendiri menerbitkan studi khusus bertajuk “PPN 12%:  Pukulan Telak Bagi Dompet Gen Z dan Masyarakat Menengah ke Bawah”. Studi kasus ini menjelaskan beban ekonomi yang akan ditanggung masyarakat jika tarif PPN meningkat.

Riset Celios menunjukkan bahwa menaikkan pajak pertambahan nilai menjadi 12% akan berdampak signifikan terhadap inflasi. Hal ini mencerminkan pengalaman pada tahun 2022, ketika pemerintah menaikkan tarif PPN dari 10% menjadi 11% dan tingkat inflasi naik menjadi 3,47% (yoy). Pada bulan Mei, Juni, dan Juli tahun yang sama, tingkat inflasi mengalami kenaikan masing-masing sebesar 3,55%, 4,35%, dan 4,94% (yoy).

Celios juga melakukan simulasi peningkatan kebutuhan masyarakat akibat kenaikan PPN. Bagi masyarakat menengah, tarif PPN 12% diperkirakan akan meningkatkan pengeluaran hingga Rp354.293 per bulan atau Rp4,2 juta per tahun. Sementara itu, rumah tangga miskin diperkirakan akan menghadapi peningkatan pengeluaran hingga Rp101.880 per bulan atau Rp1,2 juta per tahun.

Peningkatan pengeluaran ini berlawanan dengan peningkatan pendapatan dari gaji bulanan yang rata-rata hanya meningkat sebesar 3,5% per tahun. Rata-rata kenaikan gaji di Indonesia pada tahun 2023 hanya 2,8% atau setara dengan Rp89.391 per bulan. Tak ayal, kenaikan jumlah pengangguran terbuka akibat PHK diperkirakan mencapai 11,7% pada tahun 2023.

Pada November 2024 saja, terdapat 64.751 orang yang terkena PHK. Atas dasar itu, Zakiul Fikri menyatakan Pasal 4 Nomor 2 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) mempunyai dua norma hukum. Norma yang dimaksud yaitu kepastian hukum (rechtszekerheid) dan tidak sesuai dengan kepentingan kemanfaatan dan keadilan hukum (billijkheid en rechtvaardigheid).

Fikri menegaskan, pemerintah punya kewajiban untuk menganulir perintah Pasal 7 ayat (1) Bab IV Pasal 4 Angka 2 UU HPP ini dengan cara sederhana, yakni menerbitkan Perppu. Ia menganggap, keberadaan Perppu dalam politik regulasi Indonesia selama 10 tahun terakhir bukanlah suatu hal yang langka.

Alasan Perppu Pembatalan Kenaikan PPN Diperlukan

Saat ini setidaknya ada tiga alasan mengapa kenaikan PPN 12% harus dibatalkan dan Perppu diterbitkan. Pertama, peningkatan ambang batas pajak pertambahan nilai menimbulkan permasalahan hukum yang perlu segera diselesaikan. Permasalahan hukum tersebut berkisar dari inflasi dan kenaikan harga barang dan jasa.  Lalu juga berkurangnya peluang konsumsi bagi rumah tangga kelas menengah ke bawah. Selain itu dapat mengakibatkan meningkatnya angka pengangguran, tekanan terhadap UMKM dan industri manufaktur, serta meningkatnya jumlah masyarakat miskin di Indonesia.

Kedua, keberadaan ketentuan Pasal 7 ayat (1) Bab IV Pasal 4 ayat (2) UU HPP Tahun 2021 kurang memadai karena tidak memuat kecukupan dan keadilan hukum. Ketiga, mengingat lamanya waktu yang dibutuhkan dalam situasi darurat, tidak mungkin mengatasi situasi saat ini dengan memberlakukan atau mengubah undang-undang melalui prosedur normal.

Fikri menyatakan, keadaan darurat ini mengharuskan penerapan aturan baku bermasalah yang tertuang dalam Pasal 7 ayat (1) Bab IV Pasal 4 Angka 2 UU HPP Tahun 2021. Sementara itu, DPR RI saat ini sedang menjalani masa reses sejak 6 Desember 2024 hingga 15 Januari 2025 sehingga tidak mungkin membicarakan masalah ini bersama-sama dalam waktu dekat.

Fikri juga mengingatkan pemerintahan Jokowi yang mengeluarkan Perppu No.1 Tahun 2017 tentang kepentingan pajak. Perppu muncul terkait amnesti pajak yang umumnya diberikan kepada orang-orang kaya dan penghindar pajak.

Sumber: Cnbcindonesia.com