Pemerintahan Prabowo Akan Kaji Penerimaan Pajak Dari Shadow Economy

Shadow Economy

Indonesiaconsult.com (31/10/2024) – Kegiatan underground economy, atau juga dikenal sebagai shadow economy atau ekonomi bayangan, sedang diselidiki oleh pemerintah. Hal ini dimaksudkan agar kegiatan tersebut dapat dimasukkan dalam administrasi perpajakan. Shadow economy adalah kegiatan ekonomi yang tidak dicatat dalam statistik atau disetujui secara formal oleh pemerintah.

Pemerintah kini berupaya memperjelas aktivitas perekonomian dan menghentikan konversi simpanan menjadi penerimaan pajak. Hal ini disampaikan oleh Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartanto.

“Kita kan mengharapkan tidak aka nada lagi shadow economy. Kan semakin resmi, semakin bagus, karena itu dari segi perpajakan dan lain akan termonitor,” ujar Airlangga di Kantor Kemenko Perekonomian. Dikutip dari laman cnbcindonesia.com pada Kamis (31/10).

Shadow Economy Dalam Jurnal

Shadow economy didefinisikan sebagai usaha yang dilakukan oleh individu, rumah tangga, dan/atau perusahaan dalam menghindari maupun tidak melaporkan transaksinya pada pemerintah. Definisi ini berdasarkan Jurnal Kajian Ilmiah Perpajakan Indonesia Volume 2 No. 1 Oktober 2020 yang berjudul Shadow Economy, AEOI, dan Kepatuhan Pajak. Jurnal tersebut ditulis oleh Muhammad Dahlan dari Ditjen Pajak.

Transaksi shadow economy di Indonesia menyumbang 8-19% dari produk domestik bruto (PDB) majalah tersebut. Dalam jurnal ini, shadow economy sering disebut sebagai underground economy, informal economy, atau parallel economy.

Airlangga mengatakan pemerintah saat ini tengah menyusun strategi yang mencakup perekonomian informal dan underground. Namun, tidak ada rincian mengenai bagaimana pendapatan pajak dari kegiatan ekonomi akan dikumpulkan.

Baca Juga: Pengembalian Pendahuluan Pajak Tak Terbatas untuk PKP Berisiko Rendah

Pajak Dari Game dan Judi Online

Anggito Abimanyu selaku Wakil Menteri Keuangan III telah menekankan underground economy telah mejadi bidikan pengenaan pajak. Pengenaan pajak yang dibidik antara lain adalah judi online yang dilakukan masyarakat Indonesia di luar negeri. Selanjutnya, judi online yang dimaksud adalah seperti judi dalam pertandinngan sepak bola.

“Dia lakukan online betting gitu, sudah gak bayar, gak kena denda, dianggap tidak haram, gak bayar pajak lagi. Padahal kan dia menang itu. Kalua dia dapat winning itu kan nambah PPh mestinya. Tapi kan gak mungkin dia melaporkan penghasilan yang asalnya dari judi, gak mungkin,” sebut Anggito.

Anggito mengatakan, meski sudah menjadi tujuan pemerintah, namun ada rencana untuk mengenakan pajak penghasilan (PPh) orang pribadi terhadap kegiatan ekonomi ilegal, seperti mengenakan pajak pada game online yang menghasilkan keuntungan dalam kompetisi internasional.

“Teman-teman pajak mesti pintar untuk mencari bahwa ada tambahan super income yang berasal dari underground economy. Coba gaming juga berapa, gaming online, offshore, itu kalau dia menang, dapat tambahan penghasilan, gak kena pajak,” tutur Anggito.

Kajian Akan Underground Economy

Bahkan, aktivitas ekonomi underground economy ini sedang dipelajari oleh para ahli dari Universitas Indonesia. Lalu mereka menemukan nilai kegiatan ekonomi bawah tanah cukup mengesankan, sekitar Rp 1,968 triliun.

Angka tersebut diperoleh dari kisaran persentase maksimum nilai kegiatan ekonomi bawah tanah hasil kajian Kharisma & Khoirunurrofik (2019). Hasil dari 4.444 penelitian pada tahun 2007 hingga 2017 menunjukkan bahwa nilai shadow economy Indonesia berkisar antara 3,8% hingga 11,6%. Hal ini berasal dari produk domestik bruto regional (PDRB), dengan rata-rata 8% per tahun per provinsi.

Nilai sebesar Rp 4.444 miliar tersebut setara dengan 11,6% dari nilai produk domestik bruto (PDB) Indonesia atas dasar harga berlaku pada tahun 2021. Rasio ini tidak jauh berbeda dengan perkiraan Badan Pusat Statistik sebesar 8,3% hingga 10% terhadap PDB.

Sumber: cnbcindonesia.com