Indonesiaconsult.com (21/11/2024) – Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) secara resmi menyetujui masuknya revisi UU tax amnesty ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2025. Hal ini berarti bahwa revisi ini akan dikebut untuk disahkan tahun depan. Jika rencana tersebut berjalan, maka untuk ketiga kalinya pemerintah melaksanakan program pengampunan pajak (tax amnesty) untuk para pengemplang pajak.
Kalangan pengamat pajak angkat suara dan menyatakan kritik terhadap rencana pemberian kembali Program Pengampunan Pajak (Tax Amnesty) Jilid III. Salah satu pengamat pajak yang angkat bicara adalah Fajry Akbar dari Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA). Selain itu ada pula Ariawan Rahmat selaku Direktur Eksekutif Indonesia Economic Fiscal (IEF) Research Institute.
Baca Juga: Tax Amnesty; Pengemplang Pajak Berulang Kali Diampuni, Warga Hilang Kepercayaan Terhadap Pajak
Pengamat Pajak CITA Angkat Bicara Soal Tax Amnesty
Fajry Akbar selaku Pengamat Pajak dari Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) angkat bicara terkait program pengampunan pajak. Ia mengatakan bahwa rencana pemberian program pengampunan pajak tersebut akan mencederai rasa keadilan di kalangan Wajib Pajak yang patuh perpajakan.
Menurutnya, langkah ini justru akan berisiko merusak upaya penegakan kewajiban pajak di Indonesia. Hal ini dikarenakan masyarakat akan berpikir bahwa kepatuhan membayar pajak tidak lagi dihargai.
“Ini pastinya akan membuat Wajib Pajak berpikir untuk apa patuh, tok akan ada tax amnesty lagi,” sebut Fajry. Dikutip dari laman Kontan.co.id pada Kamis (21/11).
Fajry juga menilai bahwa kebijakan pengampunan pajak saat ini akan memperburuk keadaan. Hal ini lantaran pemerintah juga merencanakan kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% di tahun depan.
Tanggapan Direktur Eksekutif IEF Research Institute
Pemerintah sebaiknya tidak melanjutkan program tax amnesty atau program serupa, setidaknya dalam jangka waktu 5 tahun yang akan datang. Pendapat ini disampaikan oleh Ariawan Rahmat, Direktur Eksekutif Indonesia Economic Fiscal (IEF) Research Institute.
Ia menyebutkan bahwa ada beberapa alasan penting yang mendasari pandangannya ini. Salah satunya adalah adanya potensi meenurunnya kredibilitas pemerintah di mata masyarakat. Menurutnya, pemerintah telah menunjukkan ketidakkonsistenan dalam kebijakan perpajakan.
Seperti yang diketahui pada 2022 lalu, pemerintah mendorong masyarakat agar mengikuti Program Pengungkapan Sukarela (PPS). Hal ini dilakukan dengan janji bahwa setelahnya tidak akan ada lagi pengampunan pajak. Jika tax amnesty kembali diberlakukan, ini akan menunjukkan inkonsistensi yang akan merusak kepercayaan Wajib Pajak terhadap pemerintah.
“Inkonsistensi ini akan menurunkan kredibilitas pemerintah di mata masyarakat, termasuk pembayar pajak,” ujar Ariawan.
Lalu selanjutnya, Ariawan mengatakan bahwa pengulangan program pengampunan pajak ini akan menciptakan ketidakadilan. Hal ini utamanya bagi Wjib Pajak yang selama ini patuh dan jujur dalam menunaikan kewajibanya dalam perpajakan.
Sebagai informasi, sebelumnya pemerintah telah melaksanakan tax amnesty pada tahun 2016-2017 dan tahun 2022.
Sumber: Kontan.co.id