PPN 12%: Mantan Wakil Menteri Keuangan Serta Tokoh Lainnya Angkat Bicara

PPN 12%

Indonesiaconsult.com Pemerintah berencana untuk menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11% menjadi 12% pada awal tahun depan. Rencana ini sesuai dengan mandate Undang-Undang Harmonisasi Perarturan PErpajakan (UU HPP). PPN 12% ini hingga sekarang masih menjadi sorotan berbagai kalangan, mulai dari ekonom, pengusaha hingga pejabat dan mantan pejabat.

Banyak kalangan beramai-ramai menolak kenaikan PPN menjadi 12%, mengingat daya beli masyarakat yang masih lemah. Menteri Keuangan era Presiden Joko Widodo, Bambang Brodjonegoro pun ikut buka suara terkait hal ini. Ia menegaskan penlakannya terhadap rencana kenaikan PPN, jika dilakukan demi mengompensasi penuruan Pajak Penghasilan (PPh) Badan.

“Secara prinsip sebenarnya saya kurang setuju, tapi karena sudah dilakukan dan kebetulan itu dinyatakan dengan suatu tahapan,” ungkapap Bambang dalam program Squawk Box CNBC Indonesia. Dikutip dari laman cnbcindonesia.com pada Rabu (04/12).

Bambang menyebut bahwa saat dirinya menjadi Menteri keuangan periode pertama Presiden Jokowi, penolakan gencar ia lakukan. Hal ini didasari pada tidak adilnya paket kebijakan kompensasi pajak tersebut. Ketidakadilan yang dimaksud karena PPN dikenakan untuk setiap transaksi masyarakat, sedangkan PPh Badan hanya dipungut untuk perusahaan menengah dan besar.

PPN 12% Untuk Tambahan Penerimaan

Mantan Wakil Menteri Keuangan, Anny Ratnawati mengungkapkan dugaannya mengapa pemerintah terkesan ngotot menerapkan PPN 12% di tengah tekanan daya beli masyarakat. Ia menduga pemerintah butuh tambahan penerimaan untuk membiayai program-program pemerintah baru.

Selain membiayai program, Anny menduga pemerintah butuh banyak uang untuk kebutuhan lainnya. Kebutuhan yang dimaksud seperti membayar utang yang jatuh tempo serta bunga utang. Seperti diketahui, pemerintah akan menghadapi utang jatuh tempo dan bunga utang yang menumpuk pada 2025 dan 2026.

Meski mengetahui kebutuhan tersebut, Anny menilai kenaikan PPN menjadi 12% dirasa kurang tepat dan akan menekan daya beli masyarakat. Terlebih lagi masyarakat juga akan menghadapi berbagai kenaikan iuran, seperti BPJS Kesehatan hingga rencana peralihan subsidi BBM.

“Jadi isu-isu itu yang membuat kita bertanya-tanya tentang kemampuan daya beli, utamanya masyarakat kelas menengah,” ujar Anny.

Baca Juga: Tolak PPN 12%; Suara Dari Berbagai Kalangan

Cegah Kenaikan PPN; Penerbitan Perppu Dapat Dilakukan

Di sisi lain, Hadi Poernomo, Mantan Dirjen Pajak era Presiden SBY, menyatakan penolakan keras terhadap kenaikan tarif PPN menjadi 12%. Ia meminta pemerintah tidak hanya menunda penerapan kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) ini, tapi juga membatalkannya. Hadi menilai pemerintah bisa menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) untuk mencabut ketentuan tarif PPN 12% dalam UU HPP.

“Penerbitan Perppu dapat dilakukan untuk mencegah kenaikan PPN, karena ini kan sudah diatur di UU HPP,” sebut Hadi. Ia juga menambahkan bahwa masih ada waktu untuk membatalkan aturan tersebut sebelum Januari 2025.

Hadi mengatakan, penggunaan PPN sebagai sumber pendapatan utama hanya akan membebani masyarakat kecil yang sebagian besar pendapatannya digunakan untuk konsumsi. Ia mengusulkan sistem monitoring self-assessment dimana seluruh transaksi keuangan dan nonkeuangan wajib pajak harus dilaporkan secara lengkap dan transparan. Oleh karena itu, pajak tidak hanya menjadi sumber pendapatan utama negara, tetapi juga merupakan alat yang sangat strategis untuk memerangi korupsi dan membayar utang semua negara.

“Jika sistem ini diterapkan, keadilan perpajakan akan terwujud. Petugas pajak tidak dapat bertindak sewenang-wenang. Ini merupakan kunci untuk menciptakan keadilan pajak,” ujar Hadi.

sistem monitoring self-assessment memberikan transparansi dan memungkinkan perluasan basis pajak yang lebih akurat. Hal ini membuka peluang untuk menurunkan tarif pajak tanpa mengurangi pendapatan pemerintah. Itu karena basis pajak yang lebih luas masih dapat mendukung kenaikan tarif pajak yang besar.

Oleh karenanya, jika seluruh perbaikan dilakukan maka tarif PPN dapat diturunkan kembali menjadi 10%. Hal ini juga dapat meningkatkan daya beli masyarakat tanpa mengurangi pendapatan negara.

Sumber: cnbcindonesia.com